Ketoprak, Hiburan Rakyat yang Terlupakan

Dua tokoh dalam Ketoprak Gabungan, Pangeran Tedjaningrat dan Roro Hoyi berdialog sambil menari di Teras Museum Radya Pustaka pada Minggu malam (1/11). (Foto: Tiara Saum)
Solo- Masyarakat Jawa, terutama mereka generasi tua Solo dan Yogjakarta tentu tak asing mendengar kata ‘ketoprak’. Ya, seni sandiwara tradisional Jawa yang identik dengan guyonan pernah jaya pada masanya. Tumbuh dan berkembang sebagai seni pertunjukan tradisional, ketoprak tak lantas menjadi masa lalu. Hal ini terbukti masih ada detak rutinitas pertunjukan ketoprak yang digelar di Solo.

Pertunjukan Ketoprak Gabungan yang diadakan pada Minggu malam (1/11) adalah salah satu rangkaian acara besar kesenian ‘Sura Bulan Kebudayaan’. Digelar di teras Museum Radya Pustaka Sriwedari, pertunjukan Ketoprak Gabungan ternyata masih memiliki tempat di hati di setiap penggemar ketoprak. Hal itu dapat terlihat dari penuhnya kursi yang disediakan yang diisi oleh penonton bahkan beberapa ada yang rela berdiri untuk menyaksikan pertunjukan yang berusia puluhan tahun ini. Akan tetapi memang sudah tidak bisa disangkal bahwa sebagian besar penonton masih didominasi oleh kalangan orang-orang tua.

Ketoprak Gabungan yang disajikan malam itu adalah ketoprak srawung yang pemainnya merupakan gabungan dari senian ketoprak asal Solo, mahasiswa Institut Seni Indonesia (ISI) Solo, dan dari panitia penyelenggara. Malam itu, pertunjukan Ketoprak Gabungan bercerita tentang kisah asmara Sultan Amangkurat. Bukan kisah asmara biasa, karena gadis yang dicintainya, Roro Hoyi, juga dicintai oleh anaknya, Pangeran Tedjaningrat. Cinta segitiga yang kemudian berkahir tragis dengan bunuh dirinya si wanita.

Banyak penonton yang mulai terhipnotis dengan jalan cerita yang dibawakan, namun ada juga penonton yang sejak awal lebih sibuk mengabadikan pertunjukan lewat kamera dibanding menikmati acara. Bagi Sri Wiyono, seniman ketoprak asal Solo, ketoprak adalah hiburan yang sarat dengan pesan-pesan luhur yang seharusnya juga ditonton oleh anak muda. Namun, dia juga menyadari bahwa semakin bertambahnya zaman, ketoprak mulai banyak ditinggalkan.

“Dulu tokoh ketoprak sangat disegani, suatu prestige bagi seniman yang bisa main ketoprak. Sekarang ketoprak dipandang sebelah mata. Para seniman ketoprak memang harus secara serius membuat karya ketoprak semenarik mungkin sehingga kaum muda  atau dewasa bisa menggandrungi ketoprak dan dapat bersaing di industri kreatif hiburan. Ketoprak dapat menjadi modern tanpa harus kehilangan roh,” tuturnya.

Sangat berpengaruhnya seniman ketoprak pada keberlangsungan ketoprak itu sendiri juga diakui oleh Totok, seniman ketoprak asala Tulungagung Jawa Timur. “Mental dan moral. Ketidaksiapan mental dan moral seniman menjadi kunci kehancuran ketoprak. Perlu terobosan baru, di Jawa Timur itu sangat sulit mencari personel untuk pertunjukan ketoprak. Tidak ada pembentukan generasi tetapi hanya menjual pemain atau bisa dibilang sekadar proyek sementara,” ungkapnya dengan nada kecewa.

Meskipun banyak orang berkata bahwa ketoprak sudah mulai ditinggalkan, masih ada sisa-sisa harapan yang disematkan dari para pecintanya. Seperti apa yang diharapkan Samsudin (60), pria pecinta pertunjukan ketoprak ini selalu berharap agar ketoprak bisa membumi di nusantara. Tak hanya Samsudin, Sri Wiyono pun juga memiliki harapan besar pada masa depan ketoprak. “Semoga saja nantinya ketoprak dapat setara dengan hiburan lain di era global masa kini, karena ketoprak kaya akan kebudayaan yakni; tembang  dan tari,” tambahnya.


Optimisme akan ketoprak juga muncul dari beberapa kalangan seniman. “Jangan berkecil hati, ketoprak itu luar biasa,” kata Praningsih. Ya, ketoprak memang luar biasa. Ketoprak adalah bagian dari budaya dan hiburan tradisonal Jawa yang seharusnya tak ditinggalkan begitu saja oleh para penikmatnya. 

(Tiara Saum)
Share on Google Plus

About redaksi

This is a short description in the author block about the author. You edit it by entering text in the "Biographical Info" field in the user admin panel.

0 comments:

Post a Comment