Perjalanan
menyusuri berpuluh-puluh kilo dari Kota Solo menuju lokasi yang tak jauh dari kawasan
wisata Kaliurang Yogyakarta, Museum Ullen Sentalu, tak semudah ketika saya
mendapatkan alamat dari museum terbaik di Indonesia versi National Geographic ini. Gambaran peta perjalanan yang saya
dapatkan dengan berbekal pengalaman medan perjalanan menuju Kaliurang
menjadikan perjalanan ini begitu mengesankan. Butuh tiga kali saya bertanya
kepada penduduk untuk memastikan jalan agar tidak tersesat.
Rute
Dari Solo untuk mempersingkat waktu menuju Kaliurang
dapat dipilih jalan lingkar utara atau yang lebih dikenal dengan ringroad utara. Padatnya jalan dan
panasnya cuaca menjadikan perjalanan ini terasa jauh dan melelahkan. Jalan
menuju museum yang menampilkan seni dan
budaya Jawa dari empat kerajaan pecahan Dinasti Mataram Islam yaitu Keraton
Yogyakarta, Kasunanan Surakarta, Puro Pakualaman, dan Puro Mangkunegaran mampu
ditempuh dari dua jalur yaitu langsung melewati Jalan Kaliurang atau memotong perjalanan
lewat Jalan Palagan Tentara Pelajar. Saya memilih melewati Jalan Palagan Tentara
Pelajar karena menghindari macet yang sering terjadi di Jalan Kaliurang bagian bawah.
Tepat pukul 13.30 WIB saya tiba di museum yang bertempat
di Jalan Kaliurang Km. 25 ini. Butuh waktu tempuh satu jam dari Jalan Palagan
Tentara Pelajar dengan mengendarai sepeda motor. Hawa dingin mulai merasuk
tulang saat saya memasuki kawasan Kaliurang. Dari balik kaca mata yang saya
kenakan, saya mengerjapkan mata berulang kali mencari papan bertuliskan Museum Ullen Sentalu. Dengan memelankan sepeda motor yang saya kendarai sembari melihat
sisi kanan dan kiri jalan akhirnya ditemukanlah petunjuk arah lokasi Museum
Ullen Sentalu yang dipasang di kiri jalan.
Memasuki lokasi Museum Ullen Sentalu yang memiliki lahan
seluas 11.990 m2 terlihat berjejer bus pariwisata, bus travel, mobil, dan sepeda motor di kanan
– kiri jalan. Saya berhenti dan memarkirkan sepeda motor yang tampak kelelahan
menempuh perjalanan yang begitu panjang dengan medan yang tak menentu.
Dok. SituSolo/Chairunnisa
Bus pariwisata dan mobil yang sedang parkir di depan pintu masuk Museum Ullen Sentalu.
|
Mata saya mulai mengamati sekeliling museum yang sengaja
dididirikan di lereng Gunung Merapi karena adanya kepercayaan dari masyarakat
Jawa bahwa Gunung Merapi merupakan salah satu tempat yang dianggap sakral.
Pemandangan yang elok di sekitar museum didukung dengan nuansa yang begitu asri nan misterius menambah rasa penasaran
saya untuk mengenal lebih dalam dengan museum milik swasta ini.
Biaya
dan Fasilitas
Tanpa
berlama-lama, kaki saya bergegas menuju loket untuk segera mendapatkan tiket
masuk. Biaya yang dibutuhkan untuk menikmati perjalanan sejarah di dalam Museum Ullen Sentalu ini, untuk dewasa sebesar Rp30.000,00 sedangkan untuk anak-anak
sebesar Rp15.000,00. Bukan hanya sekedar melihat dan menikmati koleksi saja,
dengan biaya yang dikeluarkan, fasilitas yang didapat berupa pemandu wisata, wedang Ratu Mas, dan parkir kendaraan
gratis.
Ketika antre di loket pembelian tiket masuk, mata saya tertuju pada papan bertuliskan jadwal buka dan tutup Museum Ullen Senatalu. Untuk menikmati jelajah sejarah di museum seni dan budaya Jawa ini, pengunjung mulai dilayani dari pukul 09.00 - 15.00 WIB setiap hari Selasa hingga Jumat sedangkan untuk hari Sabtu dan Minggu museum melayani pengunjung hingga pukul 17.00 WIB. Untuk hari libur nasional, Museum Ullen Sentalu tetap buka seperti biasa namun jangan pernah datang di hari Senin karena museum tidak melayani pengunjung di hari tersebut alias libur.
Jelajah Sejarah
Rasa penasaran dan hasrat ingin tahu saya akan setiap
detail dari museum ini harus rela bersabar karena perlu antre terlebih dahulu
sebelum memasuki museum. Biasanya satu pemandu wisata akan membawa 25 orang
dalam satu rombongan mengingat jumlah pemandu wisata yang tak banyak. Sebelumnya akan dicatat terlebih dahulu oleh petugas di
depan pintu masuk.
“Berapa
orang, darimana?,” tanya salah satu petugas perempuan yang menggunakan hijab
begitu ramah kepada setiap pengunjung yang menunggu giliran masuk dan mencatatnya
di daftar antrean. Kebetulan hari itu,
hari Sabtu (31/10), sehingga pengunjung pun lebih banyak dibanding biasanya. Sembari
menunggu, saya memanfaatkan waktu untuk mengabadikan momen di sekitar museum yang
begitu rimbun ditumbuhi berbagai jenis pepohonan dalam beberapa jepretan.
Dok. SituSolo/Chairunnisa
Sejumlah pengunjung menunggu giliran masuk ke Museum Ullen Sentalu.
|
Dok. SituSolo/Chairunnisa
Pengunjung dari Jakarta antre memasuki Museum Ullen Sentalu.
|
“Dalam perjalanan
ini saya akan mengajak ke dalam tiga bagian ruangan yaitu Gua Selogiri, Kampung
Kambang, dan Sasana Sekar Bawana. Dimohon ketika dalam perjalanan melewati
museum ini tidak diperkenankan untuk memotret barang-barang koleksi museum. Nanti
akan ada ruangan untuk diperbolehkan foto sepuasnya yang akan saya beri tahu,”
terang Nurul, salah satu pemandu wisata Museum Ullen Sentalu yang menemani saya
dan rombongan untuk menjelaskan setiap detail dari museum.
Begitu memasuki pintu masuk museum, suasana berubah
menjadi sedikit mistis dengan dikerumuni begitu banyak pohon yang lebat.
Memasuki ruangan pertama, Gua Selogiri, ini ternyata berbentuk lorong. Bebatuan
andesit dari Gunung Merapi yang menjadi penyusun utama dari gua ini tampak begitu
dingin. Melewati lorong bak kastil Eropa, saya memasuki babak pertama dari perjalanan sejarah ini.
Di
dalam ruangan pertama setelah melewati lika liku gua yang sempit, tak
henti-hentinya saya berdecak kagum melihat begitu banyak peninggalan sejarah
dari Dinasti Mataram Islam mulai dari berbagai lukisan tari-tarian Jawa yang
memiliki makna filosofi di setiap detailnya dan gamelan pemberian dari Keraton
Yogyakarta yang sudah beurmur kurang lebih 50 tahun di sisi kanan ruangan.
Di
ruangan ini, Nurul banyak menjelaskan mengenai latar belakang dari dibangunnya
Museum Ullen Sentalu. “Museum ini didirikan oleh seorang pengusaha batik
bernama Haryono yang disahkan pada tahun 1997 oleh kerabat Puro Pakualaman guna
melestarikan kebudayaan Jawa dengan menampilkan berbagai koleksi dari empat kerajaan
yang merupakan keturunan dari Dinasti Mataram Islam,” jelas Nurul saat memandu
saya dan pengunjung lainnya.
Menyusuri
setapak demi setapak di ruangan sebelah kiri yang semakin menyempit di ujungnya, terdapat banyak bingkai foto yang menghiasi dinding dan tentunya
menyimpan banyak fakta unik seperti Sri Sultan Hamengkubuwono IX yang merupakan
raja termahsyur di Keraton Yogyakarta dan memiliki nama Belanda, Henkie.
Penjelasan
demi penjelasan yang diutarakan pemandu wisata semakin menarik perhatian
ketika mencapai di ujung ruangan. Cerita dibalik setiap foto dari raja
dan putra-putri keraton secara tidak langsung menjelaskan bahwa sedikit banyak
empat kerajaan tersebut juga dipengaruhi oleh budaya barat meski nuansa kejawen
masih sangat kental, seperti ibu dari Sunan Pakubuwono XII, Raden Ayu Kuspariyah merupakan perempuan modern di
masanya yang pandai memainkan piano.
Perhatian
saya terpusat pada salah satu lukisan dan foto putri keraton yang bisa
dikatakan memiliki karakter yang berbeda jika dibandingkan
dengan putri-putri keraton yang lain. Putri keraton asal Solo itu bernama Gusti Nurul.
Pemandu wisata saya yang juga bernama Nurul mengatakan akan ada ruangan
tersendiri yang membahas lebih lanjut mengenai kehidupan putri keraton yang
memiliki hobi berkuda ini di ruangan yang akan dijelajahi berikutnya.
“Kita
sudah sampai di ruangan kedua yang disebut dengan Kampung Kambang. Hati-hati
jangan sampai ketinggalan karena di ruangan yang kedua ini berbentuk seperti
labirin,” pesan Nurul. Saya semakin takjub dengan ruangan yang kedua. Entah
mengapa, arsitektur di Museum Ullen Sentalu ini sangat menarik karena berhasil
mengawinkan arsitektur gaya Eropa dengan nuansa Jawa yang tak ketinggalan
tentunya. Nurul menjelaskan ada lima ruangan yaitu Ruang Tineke, Ruang Paes
Ageng Gaya Yogyakarta, Ruang Batik Vorstendlanden,
Ruang Batik Pesisiran, dan Ruang Putri Dambaan.
Memasuki
ruangan yang kedua, setiap ruangan tak henti-hentinya mencuri perhatian saya.
Ruang Tineke yang berisi puisi-puisi dari para sahabat dan kerabat guna
menghibur GRAy Koes Sapariyam atau lebih dikenal dengan Tineke, putri dari
Sunan Pakubuwono XI, yang patah hati karena cintanya tak mendapatkan restu. Ruangan
ini mampu membuat saya tersihir dengan puisi-puisi yang begitu sederhana namun
bermakna mendalam. Tak hanya dengan Bahasa Indonesia ejaan lama, Bahasa Belanda
dan Bahasa Jepang pun juga turut meggores kertas, menghiasi hati Tineke dengan
kata-kata yang puitis.
Beranjak
ke ruangan sempit lainnya di Kampung
Kambang terdapat fakta unik bahwa goresan motif dalam setiap batik memiliki
filosofi tersendiri, seperti misalnya motif parang tidak boleh digunakan saat
pernikahan agar pernikahan terhindar dari percekcokan. Ruangan yang menampilkan
koleksi berbagai batik dari setiap kerajaan Dinasti Mataram Islam begitu
memberikan pelajaran seperti yang diutarakan Nurul. “Segala hal yang dikenakan
haruslah sesuai dengan maksud dan tujuan seseorang dalam berkehidupan,” jelas
pemandu wisata berkacamata ini.
Ruangan
yang begitu saya tunggu-tunggu adalah ruangan terakhir dari Kampung Kambang
yaitu Ruang Putri Dambaan. Mata saya tak henti-hentinya
mangamati satu persatu foto yang terpasang di dinding. Gusti Raden Ayu Siti Nurul Kamaril Ngarasati Kusumawardhani Soerjosoejarso atau lebih dikenal dengan
Gusti Nurul merupakan putri keraton dari Puro Mangkunegaran yang memiliki kepribadian unik dan menarik
dengan kebiasaannya mendobrak kebiasaan-kebiasaan lama keraton seperti dirinya
yang tak mau berpoligami dan percaya jodoh akan datang tepat pada waktunya.
“Gusti
Nurul merupakan salah satu putri keraton yang memiliki paras cantik di masanya
sehingga banyak yang meminang dirinya, seperti Presiden Soekarno dan Sri Sultan
Hamengkubuwono IX. Namun semuanya ditolak. Saat ini beliau tinggal di Bandung dan sedang terbaring sakit. Mohon doanya agar beliau cepat sembuh,” jelas Nurul saat menjelaskan foto
pernikahan Gusti Nurul dengan salah satu cucu dari kerabat Puro Mangkunegaran.
Melewati berbagai ruangan yang berliku, Nurul mempersilahkan saya dan para pengunjung lainnya untuk duduk bersantai menunggu minuman yang diracik langsung dari resep Gusti Kanjeng Ratu Mas, permaisuri Sunan Pakubuwono X. Wedang Ratu Mas, begitu kerap disebut, memiliki rasa jahe yang kuat berkhasiat baik bagi kesehatan dan dipercaya mampu membuat awet muda bagi siapa saja yang meminumnya.
Melewati berbagai ruangan yang berliku, Nurul mempersilahkan saya dan para pengunjung lainnya untuk duduk bersantai menunggu minuman yang diracik langsung dari resep Gusti Kanjeng Ratu Mas, permaisuri Sunan Pakubuwono X. Wedang Ratu Mas, begitu kerap disebut, memiliki rasa jahe yang kuat berkhasiat baik bagi kesehatan dan dipercaya mampu membuat awet muda bagi siapa saja yang meminumnya.
Dok. SituSolo/Chairunnisa
|
“Bedhaya
Ketawang adalah tarian sakral untuk menyambut raja yang akan naik tahta. Dalam
tarian ini terdapat sembilan penari dimana Ratu Kidul menjadi penari kesepuluh. Nantinya Ratu Kidul akan merasuki salah satu dari kesembilan penari. Tarian tidak
akan berhenti hingga raja mengetahui siapa penari yang dirasuki oleh Ratu Kidul. Setelah raja mengetahuinya, maka
penari yang dirasuki tadi akan dijadikan selirnya,” jelas Nurul panjang lebar
mengenai tarian menyambut naik tahtanya seorang raja di Dinasti Mataram.
Makna
tarian ini sontak membuat saya dan pengunjung lainnya kaget dan merinding
mendengar cerita mistis dari pemandu wisata. Lanjut menapaki ruangan, terdapat
pula lukisan Sri Sultan Hamengkubuwono X dan Gusti Kanjeng Ratu Hemas yang
sedang duduk bersama dengan Lady
Diana, istri Pangeran Charles dari Kerajaan Inggris.
Di
penghujung perjalanan sejarah yang tidak terasa memakan waktu selama 50 menit,
Nurul mengajak pengunjung ke area terbuka yang terdapat replika relief dari
Candi Borobudur yang berada di tingkat kedua disebut dengan Ganda Pyuha yang
menggambarkan para bangsawan yang sedang mengembara. Yang menarik dari replika
relief ini yaitu peletakkannya yang sengaja dimiringkan.
Nurul
menjelaskan, dimiringkannya replika relief ini merupakan bentuk keprihatinan
Museum Ullen Sentalu akan budaya Jawa yang semakin tergerus oleh perkembangan
zaman. “Kami (Museum Ullen Sentalu-red) sengaja memiringkannya juga sebagai
salah satu cara agar kami (Museum Ullen Sentalu-red) terus ingat bahwa sebagai
generasi penerus bangsa, kita semua punya tanggung jawab yang besar untuk
menegakkan kembali budaya Jawa,” tambahnya.
Di
ruang terbuka ini, Nurul mempersilahkan kepada para pengunjung untuk bebas
berfoto. Tempat yang cukup luas didukung dengan pemandangan indah pepohonan dan
bangunan restoran berbentuk Eropa di sisi utara replika relief yang terlihat
jelas dihiasi bunga di setiap sisinya menjadi tempat yang asyik untuk berfoto. Nurul
mengaku banyak pengunjung yang memanfaatkan spot
ini untuk ber-selfie dengan kelurga,
teman, atau pacar.
Melanjutkan
perjalanan, Nurul membawa saya dan pengunjung lainnya ke lokasi terakhir.
Lokasi yang satu ini begitu sejuk dengan dihiasi kolam ikan dan pepohonan yang
begitu rindang. Pemandu wisata cantik yang sedari tadi setia menemani saya dan
pengunjung lainnya, berpamitan dan mempersilahkan mampir ke spot menarik lainnya yaitu restoran ala
Negeri Kincir Angin bernama Beukenhof
yang menyajikan makanan dan minuman khas Belanda dengan harga minimal Rp30.000,00 dan toko souvenir
khas Jawa yang berada di seberang pintu keluar Museum Ullen Sentalu.
Dok.
SituSolo/Chairunnisa
Sejumlah pengunjung
asyik ber-selfie mengabadikan momen kebersamaan mereka.
|
Dok. SituSolo/Chairunnisa
Suasana menuju pintu keluar Museum Ullen Sentalu.
|
0 comments:
Post a Comment