Wacana pemerintah mengenai
penghapusan skripsi sebagai syarat kelulusan bagi jenjang S1 dikeluarkan pada
bulan Juli 2015 sebagai upaya untuk mencegah kasus ijazah palsu yang semakin
marak. Mohammad Nasir, Menteri Riset Teknologi dan Pendidikan Tinggi
(Kemenristek-Dikti)-lah yang mengeluarkan wacana tersebut.
Kebijakan pemerintah
mengenai penghapusan skripsi ini sebenarnya bukanlah wacana baru pada dunia
pendidikan Indonesia. Alasan maraknya jual beli karya maupun ijazah palsu
menjadi argument yang paling menguatkan kebijakan ini dikeluarkan. Tahun
1990-an wacana penghapusan ini sebenarnya juga sempat diwacanakan kala itu,
tetapi menuai banyak pro-kontra yang keluar baik dari kalangan akademisi maupun
civitas academia seperti mahasiswa.
Begitupun dengan 1990-an
silam, kebijakan yang dikeluarkan oleh M. Nasir kali ini juga menuai banyak
pro-kontra dari para pelaku pendidikan tinggi. Berbagai tanggapan dari publik
muncul sebagai reaksi dari wacana kebijakan menteri ini.
Mahasiswa yang menjadi
korban kebijkan kala itu dianggap menjadi generasi yang malas berpikir kritis
dan melakukan eksplorasi serta penelitian, utamanya adalah penelitian ilmiah.
Mahasiswa juga tidak memiliki kemampuan untuk menulis dan bekerja secara
sistematis.
Wewenang untuk penentuan
kelulusan dari program sarjana sepenuhnya diatur oleh menteri yang
bersangkutan, hal tersebut telah tercantum dalam UU No.12 Tahun 2012 mengenai
Dikti, bahwa pengembangan potensi bisa dilakukan dengan melakukan pembelajaran,
pencarian kebenaran ilmiah, dan atau penguasaan, pengembangan, dan pengamalan
suatu cabang ilmu pengetahuan dan atau teknologi.
Dan sesuai dengan pasal 18
UU No.12 Tahun 2012, mengenai program sarjana ketentuan lebih lanjut dari
kelulusan program sarjana ini tidak disebutkan serinci pada pasal 19 dan 20
mengenai program Magister dan Doktoral. Pada pasal 18 hanya dijelaskan:
“Program sarjana merupakan
pendidikan akademik yang diperuntukkan bagi lulusan pendidikan menengah atau
sederajat sehingga mampu mengamalkan Ilmu Pengetahuan dan Teknologi melalui
penalaran ilmiah.”
Pengamalan ilmu
pengetahuan dan teknologi melalui penalaran ilmiah inilah yang mungkin menjadi
dasar bagi diadakannya skripsi pada terdahulu. Dengan adanya bentuk penelitian
skripsi menjadi implementasi dari ilmu yang telah didapatkan oleh mahasiswa
saat kuliah.
Tetapi barangkali memang
menjadi polemik tersendiri ketika praktek kecurangan, plagiarisme dan ijazah
palsu ini terus bermunculan. Skripsi bukan lagi menjadi karya idealis yang
dibuat oleh mahasiswa calon Sarjana-1, melainkan hanya menjadi bentuk laporan
penelitian yang dilakukan sebagai syarat kelulusan formal belaka. Bahkan,
terkadang bisa menjadi momok yang menakutkan bagi mahasiswa.
Ada yang menyebutkan bahwa
karena adanya skripsi ini dapat menciptakan istilah “masuk baik keluar buruk”,
banyak dari mahasiswa yang pada awal masuknya ini memiliki kualitas berpikir
yang baik tetapi karena adanya skripsi ia malah mendapatkan momoknya. Skripsi
yang tertunda, masalah dosen, maupun revisi berlarut-larut inilah yang kadang
bisa menjadi momok bagi mahasiswa.
Memang beberapa negara
seperti Amerika, Jepang, dan Jerman, telah menghilangkan system skripsi sebagai
syarat kelulusan dari mahasiswa S-1. Tetapi, mungkinkah hal itu cukup relevan
bagi mahasiswa Indonesia?
Argumen Sivitas Akademika
Wacana Kemenristek dan
Dikti mengenai penghapusan skripsi ini menuai banyak pro-kontra dari berbagai
pihak. Misal Rektor Universitas Sebelas Maret Surakarta, Prof. Dr. H. Ravik
Karsidi menanggapi wacana Kemenristek tersebut mengatakan,” Skripsi bagi
mahasiswa saya rasa masih memberikan efek positif, terutama bagi yang ingin
berlatih sebagai ilmuwan.”
Dikatakan skripsi masih
menjadi tolak ukur yang baik juga untuk kelulusan mahasiswa dalam menghadapi
jenjang S-1. “Di UNS sendiri Skripsi diwajibkan bagi mahasiswa, dan untuk UNS
sendiri juga lebih gencar mengusahakan untuk mahasiswa yang ingin
mempublikasikan karyanya itu secara internasional.”
“Kami persilahkan bagi
mahasiswa yang berkeinginan untuk dipublikasikan secara internasional seperti
indeks scopus atau yang lain diberikan
kesempatan fasilitas. Jadi kalau di kelas publikasi ada yang melalui jalur
akademis, jalur profesi dan vokasi. Yang akademik melalui skripsi. Sedangkan
untuk jalur profesi atau jalur vokasi tidak dengan skripsi, melainkan dengan
penugasan atau tugas akhir. Jadi secara prinsip UNS tetap berjalan sesuai
aturan,” tambahnya.
Wisnu Dewa Adji Maryadi,
mahasiswa semester 3 jurusan Sosiologi, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik,
Univesitas Sebelas Maret Surakarta saat ditemui mengatakan, ”Mengenai kebijakan
penghapusan skripsi oleh Kemenriset & Dikti ini saya setuju, soalnya dari
dulu skripsi ini malah jadi momok yang menakutkan bagi mahasiswa. Apalagi
sekarang ini sudah banyak sekali skripsi yang dikerjakan secara seenaknya oleh
mahasiswa.”
Ia juga menambahkan,
bahwa, jika untuk pengurangan praktek plagiarism ini kebijakan dari Kemenriset
ini bisa saja berfungsi, tetapi untuk mengurangi praktek ijazah palsu tidak ada
jaminan, praktek ini akan berhenti.
Senada dengan Wisnu, Afif
Maulana Firdaus, mahasiswa semester 5 jurusan Manajemen, Fakultas Ekonomi dan
Bisnis, UNS mengatakan bahwa, ia pun juga setuju dengan kebijakan dari
kemenriset ini.
Afif mengatakan, “Tidak
semua mahasiswa itu berorientasi pada research saja, dan skripsi ini adalah
salah satu dari research. Sudah banyak juga skripsi yang kini judulunya pun
tidak relevan, apalagi dengan banyaknya dosen yang memperbolehkan untuk
melakukan modifikasi dari karya sebelumnya, tingkat originalitasnya sudah tidak
objektif dan skripsi ini hanya terkesan menjadi syarat lulus belaka.”
Akan tetapi, saat
disinggung mengenai apakah ada tolak ukur yang lebih baik, Afif mengatakan
belum ada tolak ukur menurutnya yang lebih baik untuk menjadi syarat kelulusan
dari program Sarjana 1.
“Plagiarisme mungkin bisa
ditekan tetapi untuk masalah ijasah palsu mungkin tidak bisa dijamin”,
pungkasnya.
Praktek plagiarisme dan
kecurangan ijazah memang menjadi momok yang cukup mengganggu di dunia Pendidikan
Tinggi di negeri ini. Sebenarnya bukan hanya dengan cara penghapusan skripsi
saja dapat dilakukan, system kerja dengan pemanfaatan aplikasi yang bisa
melacak plagiarisme, kejelian dosen, dan ketatnya pengawasan dalam pendidikan
tinggi bisa menjadi solusi lainnya daripada penghapusan skripsi yang
diwacanakan.
0 comments:
Post a Comment