Penampilan
salah satu mahasiswi S2 Institut Seni Indonesia (ISI) Solo, Maharani
Luthvinda Dewi (23) memukau mata para penonton. Pasalnya, gadis
jurusan Penciptaan Seni tersebut berhasil membawakan dengan luwes
hasil karyanya yaitu Tari Angslup. Jumat (30/10) malam bertempat di
Museum Radya Pustaka, Maharani berhasil membuat para penonton
menyadari bahwa budaya tradisional masih hidup di tengah-tengah
kehidupan modern seperti saat ini. Maharani memadukan tarian yang ia
ciptakan dengan seni modeling dan fotografi.
Dalam
menciptakan tarian ini, beberapa proses harus dilewati salah satunya
adalah riset. Maharani melakukan riset mengenai fenomena budaya yang
ada di sekitarnya. Gadis yang sudah menggeluti bidang tari tradisi
sejak usia tiga tahun ini, mengaku bahwa tidak mudah untuk melakukan
riset budaya. Hal ini ia katakan karena perlu menelusuri makna-makna
yang terdapat di dalamnya, tidak boleh asal menafsirkan. Lalu setelah
melakukan riset dirinya harus mencari fenomena yang saat ini sedang
‘hits’ di masyarakat. Maharani melihat bahwa modeling dan
fotografi merupakan bidang yang dapat dileburkan dengan tarian.
Ketika ditanyai alasannya mengapa ia tertarik mengambil dua bidang
tersebut, ia menjawab bahwa di dalam dunia modeling, busana menjadi
unsur utamanya. Begitu juga dengan seni tari, busana juga merupakan
salah satu unsur yang mendukung dalam penampilannya. Maharani
menganggap tidak hanya modeling saja yang berpotensi untuk
digabungkan dengan tari, namun juga fotografi. Ia melihat bahwa
setiap rangkaian pose dalam fotografi menghasilkan sebuah
gerakan. Gerakan-gerakan itu jika di beri musik, akan menciptakan
sebuah karya seni baru yaitu tari.
“Untuk
mahasiswa S2, ini merupakan sebuah tuntutan pembelajaran sebenarnya.
Jadi kita di minta untuk memperkenalkan dan mengangkat budaya
sekitar. Nah, aku milih ini. Lagian dari kecil aku emang udah ikutan
tari tradisi dan pas SMP juga udah ikutan modeling.” Ujarnya
dengan wajah sumringah saat ditemui seusai acara.
Dalam
penciptaan karya ini, Maharani juga ingin menonjolkan adanya
eloborasi seni. Selain itu, menurutnya seorang penari harus bisa
menampilkan gerakan yang bagus serta dapat menyampaikan pesan kepada
penonton. Tidak kalah pentingnya, aura dari diri penari tersebut juga
harus lebih kuat dibandingkan dengan busana yang dikenakannya. Dengan
kata lain, seorang penari harus bisa membawa diri dan meresapi makna
dari setiap gerakan yang ia suguhkan.
“Angslup
itu bahasa Jawa yang artinya tenggelam, emm apa ya… Istilahnya itu
seorang penari yang mengenakan busana itu auranya harus lebih besar
daripada busana yang dipakainya. Apalagi tari Angslup ini pakai kain
lurik. Kain lurik, kain batik itu gak sembarangan orang bagus pas
mengenakannya. Jadi ya, memang agak susah.” Ujarnya.
Beberapa
dosen ISI dan seniman hadir dalam acara tersebut untuk memberikan
apresiasi atas karya yang disuguhkan oleh Maharani. Beberapa
pertanyaan dan saran disampaikan oleh mereka. Menurut beberapa
pengamat seni, karya Tari Angslup ini merupakan embrio yang nantinya
akan bertumbuh sehingga banyak orang pun akan berpikiran hal yang
sama seperti yang dipikirkan oleh Maharani, dengan kata lain banyak
orang yang cinta budaya tradisional menciptakan budaya baru yang
didalamnya merupakan kolaborasi antara budaya tradisional dan modern.
“Sebenarnya tari itu kan budaya yang sudah lama ada. Cuma Rani
mengemas tarian itu dengan sesuatu yang baru. Tari Angslup ini
mengingatkan kita sama budaya Jawa, dimana kita perlu perlu ngudi
sarira. Ngudi sarira itu artinya berupaya terus menerus agar
baik, bagus. Dalam hal ini, Rani mengingatkan bagaimana mengenakan
busana yang sering kali mungkin kita gak sadar tujuannya apa. Menurut
saya ini karya yang bagus, karena kolaborasi tradisional sama
modernnya cocok.” Kata Suprapto Suryodarmo, Pemimpin Padepokan
Lemah Putih yang juga mengajar olah gerak.
Wahyu
Santoso yang merupakan Dosen ISI jurusan tari juga menambahkan bahwa
“Tradisi itu akan banyak berubah, tapi tradisi itu juga harus
mengikuti perkembangan zaman. Harus di kaji lagi dengan kreatif,
bukan dibiarkan mati. Maharani ini salah satu contoh yang baik,
karena karyanya berpijak pada tradisi yang di bentuk kembali.”
Maharani
berharap karya nya ini tidak hanya sebagai tuntutan pembelajaran
saja, namun juga sebagai pijakan bagi masyarakat untuk melihat
kembali budaya yang ada di sekitarnya. Serta bersedia untuk
melestarikan dan menjaga dengan baik. “Jaga budaya dan tradisi yang
sudah ada aja, apalagi kita generasi muda.” Pesan Maharani. (Ester)
Berita Terkait:
Aura Lurik dalam Menari
Berita Terkait:
Aura Lurik dalam Menari
0 comments:
Post a Comment